Oleh : Yohanes Wandikbo )*
Pemerintah terus menunjukkan komitmen kuat dalam mewujudkan pemerataan energi di seluruh Indonesia. Salah satu capaian nyata pada tahun pertama pemerintahan adalah pelaksanaan program Listrik Desa di wilayah timur Indonesia, khususnya di Papua. Program ini membawa perubahan signifikan bagi masyarakat yang selama bertahun-tahun hidup tanpa penerangan yang memadai.
Di Kabupaten Pegunungan Arfak, Papua Barat, kini masyarakat di Distrik Kiraweri sudah menikmati aliran listrik yang stabil. Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Anggi berkapasitas 150 kilowatt menjadi bukti konkret pelaksanaan Asta Cita pemerintah dalam pemerataan akses energi hingga pelosok negeri. Kehadiran PLTMH ini menandai berakhirnya ketergantungan masyarakat terhadap lampu minyak dan genset yang selama ini menjadi satu-satunya sumber penerangan.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menjelaskan bahwa pemerintah menargetkan seluruh desa di Indonesia sudah teraliri listrik pada tahun 2030. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, terdapat 84.276 wilayah administrasi setingkat desa di Indonesia, yang terdiri dari 75.753 desa dan 8.486 kelurahan. Dari jumlah tersebut, sekitar 5.700 desa atau 6,76 persen belum mendapatkan akses listrik. Pemerintah bertekad untuk menuntaskan ketimpangan tersebut melalui program Listrik Desa yang dijalankan secara bertahap dan terukur.
Program Listrik Desa (Lisdes) yang dikoordinasikan oleh Kementerian ESDM dirancang untuk mempercepat pembangunan infrastruktur listrik di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Melalui program ini, pemerintah menargetkan elektrifikasi 5.758 desa yang belum terlayani oleh PLN, serta menyediakan penyambungan listrik untuk sekitar 1,2 juta rumah tangga. Pendekatan ini tidak hanya berfokus pada peningkatan jumlah desa berlistrik, tetapi juga pada pemanfaatan energi baru dan terbarukan yang ramah lingkungan serta berkelanjutan.
Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa kebijakan perluasan akses listrik menjadi prioritas utama pemerintah karena listrik merupakan kebutuhan dasar masyarakat yang berdampak langsung pada kesejahteraan. Peningkatan rasio elektrifikasi diharapkan dapat memperkuat pertumbuhan ekonomi perdesaan dan mendukung pemerataan pembangunan. Dengan listrik yang memadai, masyarakat dapat melakukan aktivitas ekonomi di malam hari, anak-anak dapat belajar dengan nyaman, dan pelaku usaha kecil dapat meningkatkan produktivitasnya.
Pemerintah juga memastikan pembangunan infrastruktur energi tidak hanya berorientasi pada kuantitas, tetapi juga pada keberlanjutan. Salah satu langkah strategis yang diambil adalah penerapan kebijakan dedieselisasi, yaitu mengganti pembangkit berbahan bakar fosil dengan sumber energi baru dan terbarukan. Pembangunan PLTMH Anggi di Papua Barat merupakan contoh nyata implementasi kebijakan ini. Dengan kapasitas 150 kW, pembangkit tersebut mampu memasok listrik ke seluruh rumah di Distrik Kiraweri dan mendukung kebutuhan masyarakat secara berkelanjutan.
Program Listrik Desa menjadi bagian penting dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) Tahun 2025–2034. Rencana ini disusun berdasarkan visi pemerataan energi nasional yang mengacu pada prinsip keadilan sosial. Pemerintah berupaya agar seluruh warga negara, baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan, memiliki kesempatan yang sama dalam menikmati akses listrik yang berkualitas.
Dalam pelaksanaannya, Kementerian ESDM mengedepankan kolaborasi lintas sektor dengan pemerintah daerah, PLN, serta masyarakat setempat. Pendekatan ini dilakukan untuk memastikan keberlanjutan program dan mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga serta mengelola infrastruktur yang telah dibangun. Pemerintah juga memfasilitasi pelatihan teknis bagi warga untuk memahami dasar pemeliharaan dan pengelolaan fasilitas listrik berbasis energi terbarukan.
Pemerataan akses listrik di Papua menunjukkan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan. Masyarakat yang sebelumnya bergantung pada minyak tanah kini dapat menghemat biaya rumah tangga. Aktivitas ekonomi lokal meningkat, dan sektor pendidikan serta kesehatan berjalan lebih efektif. Dengan adanya listrik, sekolah dapat beroperasi lebih lama, fasilitas kesehatan dapat melayani masyarakat hingga malam hari, dan kegiatan sosial menjadi lebih dinamis.
Selain itu, pemerintah menilai bahwa peningkatan elektrifikasi di Papua menjadi bukti bahwa pembangunan tidak hanya terpusat di wilayah barat Indonesia. Papua kini menjadi contoh bagaimana kebijakan energi dapat menjadi instrumen pemerataan ekonomi. Bahlil Lahadalia menekankan bahwa kebijakan energi nasional harus berpihak pada daerah 3T sebagai bagian dari tanggung jawab negara untuk menghadirkan keadilan bagi seluruh rakyat.
Keberhasilan program ini menjadi refleksi dari keseriusan pemerintah dalam memperkuat ketahanan energi nasional. Dalam jangka panjang, listrik menjadi fondasi bagi pertumbuhan ekonomi inklusif, memperluas akses pendidikan, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di wilayah terpencil. Pemerintah berkomitmen untuk melanjutkan program serupa di berbagai daerah yang masih belum mendapatkan akses listrik, termasuk di pulau-pulau kecil dan daerah pedalaman lainnya.
Setahun pemerintahan Prabowo-Gibran menjadi momentum penting dalam upaya pemerataan pembangunan energi di Indonesia. Melalui tangan dingin Bahlil Lahadalia, Kementerian ESDM berhasil mengimplementasikan kebijakan yang berpihak pada rakyat, dengan fokus pada pemerataan dan keberlanjutan. Program Listrik Desa tidak hanya menghadirkan penerangan, tetapi juga menghadirkan kesempatan baru bagi masyarakat untuk hidup lebih produktif dan sejahtera.
)* Penulis merupakan pengamat pembangunan Papua